Sertifikasi Halal : UMKM Harus Hubungi Siapa Lebih Dulu?
Dalam menjalankan usahanya, pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia sering kali dihadapkan dengan berbagai regulasi dan kebijakan yang harus dipatuhi. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah sertifikasi halal produk yang diproduksi atau dijual. Sertifikasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa produk yang dihasilkan sesuai dengan syariat Islam, sehingga dapat dikonsumsi oleh umat Muslim.
Dalam proses sertifikasi halal ini, ada beberapa lembaga yang memiliki peran penting dan harus dipahami oleh pelaku UMKM, yaitu Kementerian Agama (Kemenag), Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), Pendamping PPH (Proses Produk Halal), dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Masing-masing lembaga memiliki fungsi dan tanggung jawab yang berbeda dalam proses sertifikasi halal.
Bagaimana prosedur pengajuan sertifikasi halal? dan lembaga apa yang harus dihubungi lebih dulu?
Pengajuan STTD ke BPJPH: Langkah pertama yang harus dilakukan adalah pengajuan STTD (surat tanda terima dokumen) ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). BPJPH merupakan lembaga di bawah Kementerian Agama yang bertanggung jawab atas Permohonan diajukan secara tertulis kepada Kepala BPJPH bersama dokumen pendaftaran.
Pendaftaran melalui laman LPPOM MUI: Dokumen yang perlu disiapkan berupa NIB, identitas usaha, daftar produk yang akan disertifikasi, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dalam https://halalmui.org/prosedur-sertifikasi-halal-mui-untuk-produk-yang-beredar-di-indonesia/
Penunjukan LPH / PPH : Setelah pengajuan diterima oleh BPJPH, BPJPH akan menunjuk Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) untuk melakukan pemeriksaan terhadap produk UMKM. LPH akan melakukan audit lapangan untuk memastikan bahwa bahan baku, proses produksi, dan produk akhir memenuhi standar halal yang ditetapkan. LPH dan PPH dibedakan dari tugas dan keanggotaannya. LPH bertanggung jawab untuk melakukan audit internal terhadap sistem produksi dan manajemen kehalalan produsen. Di sisi lain, Pendamping PPH berperan dalam mendampingi produsen / pelaku usaha mulai dari persiapan hingga pengajuan halal melalui skema sertifikasi self declare. LPH hanya bisa diikuti oleh Lembaga Sertifikasi Halal (LSH) yang telah memperoleh sertifikat dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) atau BPJPH. Sebaliknya, Pendamping PPH terbuka untuk siapa saja yang memiliki keahlian di bidang kehalalan produk, termasuk akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga pendamping usaha.
Pelaksanaan Audit: Berupa pengecekan bahan baku, proses produksi, hingga penyimpanan produk. Selain itu, UMKM juga perlu mempersiapkan sampel untuk diuji di laboratorium jika diperlukan. Hasil pemeriksaan ini akan disusun dalam bentuk laporan yang kemudian dikirimkan ke BPJPH.
Penetapan Kehalalan oleh MUI: Berdasarkan laporan dari LPH, Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan mengeluarkan fatwa kehalalan produk. Fatwa ini merupakan dasar bagi BPJPH untuk menerbitkan sertifikat halal.
Penerbitan Sertifikat Halal: Setelah mendapatkan fatwa kehalalan dari MUI, BPJPH akan menerbitkan sertifikat halal untuk produk UMKM. Sertifikat ini berlaku selama beberapa tahun dan harus diperbarui sesuai ketentuan yang berlaku.
Proses mendapatkan sertifikat halal melibatkan beberapa langkah, mulai dari pendaftaran di BPJPH, audit oleh LPH, hingga penerbitan sertifikat oleh BPJPH berdasarkan fatwa MUI. Kolaborasi antara BPJPH, LPH/PPH, serta LPPOM MUI menjadikan proses sertifikasi halal lebih terstruktur.
Dengan sertifikasi halal, UMKM tidak hanya dapat memastikan bahwa produk mereka aman dan berkualitas, tetapi juga sesuai dengan standar halal yang berlaku. Ini akan membantu UMKM dalam meningkatkan daya saing dan memperluas jangkauan pasar mereka, sehingga mampu berkembang lebih pesat di tengah persaingan yang semakin ketat.
Comments